Home » , » Generasi Bakal Hancur Karena Aibon

Generasi Bakal Hancur Karena Aibon

Written By Komunitas Anak Jalanan on Jumat, 06 September 2013 | 22.37

Ramai-ramai menghirup uap lem aibon.
 (Foto/Jubi: Musa Abubar)
Sejatinya lem (perekat) Aibon Dipakai untuk merekat plywood, plastik, wallpaper, kulit, tegel ,karet dan porselin tambal ban. Tapi kini dijadikan perekatan yang memabukan. Sudah banyak korban aibon.
JUBI — Vani K nama perempuan itu. Usianya masih 19 tahun. Ia berasal dari Biak, Papua. Dalam menjalani kehidupan, banyak cerita sedih yang melekat pada dirinya. Sejak usia 10 tahun, Vani sudah mengenal hidup di jalanan. Tempat tinggalnya tak tetap, dari hari ke hari ia berbaring di emperan toko di kota Jayapura. Menu makanannya pun ala kadarnya, prinsipnya yang terpenting bisa mengisi tali poro yang trada isi. 
“Saya mulai mengenal kehidupan jalanan sejak umur 10 tahun,” begitu cerita Vani kepada Musa Abubar dari JUBI belum lama ini.

Vani mengisahkan, sebelumnya ia tidak mengenal kehidupan jalan seperti ia lakoni saat ini. Dia mengaku, saat usianya beranjak 10 tahun, kehidupan rumah tangganya berantakaan. Kedua orang tuanya cerai. “Saat itu tidak ada urus kami. Saya memutuskan untuk  menghilang dari rumah dan mencari pekerjaan di Timika,” katanya. Namun sesampai di kota dollar itu, Vani tidak memdapatkan pekerjaan. Ia bingung. Dalam ketidakberdayaan itu, ia terpaksa mulai belajar menjadi anak jalanan. “Saya bergabung dengan anak-anak jalanan di Timika,” kenangnya. 


Setelah mengenal kehidupan rekan-rekannya di Timika, Vani pun hijrah ke Jayapura. Ketika itu ia berharap di ibu kota Provinsi Papua itu, ia akan mudah memperoleh perkerjaan. Ia berjalan dari toko ke toko melamar pekerjaan tapi tak ada yang berminat menggunakan tenaganya. Pekerjaan yang layak sudah jauh dari mimpinya. “Tidak ada yang terima saya.”
Dia mengaku, karena ganasnya kehidupan di Kota Jayapura, Vani terpaksa kembali menjadi anak jalanan. Ia begabung dengan sobat-sobatnya yang lain. Vani dipercayakan oleh ketua geng. Kepercayaan tersebut diberikan berdasarkan kesepakatan bersama diantara mereka. Vani mengaku, kelompok yang mereka bentuk itu rata-rata penghisap lem aibon. Tindakan itu terpaksa mereka lakukan untuk mengusir rasa penat dan stres. “Biar tidak banyak pikir. Kami juga tidak diperhatikan oleh siapa pun, jadi kami hidup bebas,” katanya.
Di Jayapura, home base anak aibon ini terletak di belakang Pasar Ampera. Di tempat itu jumlah mereka mencapai 30 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Papua, diantaranya Manokwari, Biak, Serui dan Wamena. Mereka mengaku, sebagaian sudah pulang kampung. “Ada juga teman-teman baru datang,” katanya. 
Bagi mereka, walau tempat tersebut kumuh dan menimbulkan bau tak sedap tapi dianggap tempat yang layak. Lagi pula tempat itu mereka nilai sebagai tempat yang aman. Walau demikian, mereka juga kuatir jika kelak pasar Ampera dipindahkan, tentu mereka kehilangan tempat menginap. Saat ditanya apakah mereka pernah mendapat perhatian pemerintah.  ”Dari dulu sampai sekarang kami hanya mengharapkan agar ada perhatian kepada kami. Baik dari pemerintah maupun LSM tidak perhatikan kami,” ujar Vani.
Vani juga mengaku, mereka pernah membuat proposal dan diberikan kepada Walikota Jayapura untuk dibuatkan rumah singgah untuk anak-anak jalanan, tapi tidak ada respon dari walikota. “Dinas Kesejahteraan Sosial juga pernah berjanji akan memberikan pelatihan mengenai pengembangan ketrampilan dan kreativitas, tapi sampai saat ini tidak dilakukan,” katanya. “Begitu juga LSM maupun Gereja jarang memberikan pelayanan kepada kami. Gereja Betel Indonesia yang masih memberi perhatian kepada kami.” Mereka menilai, Pemerintah dan LSM menjadikan anak jalanan dan aibon hanya obyek untuk mencari keuntungan. 
Mayoritas anak-anak iibon dikawasan tersebut sudah diketahui oleh pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk Lembaga Gereja. Namun hingga kini Pemerintah dan sejumlah LSM kurang tidak memberikan perhatian terhadap sekumpulan anak-anak muda ini. Pada tahun 2009 lalu sejumlah gereja telah melakukan pelayanan kepada anak-anak aibon dan anak jalanan lainnya di kawasan ini. Diantaranya, Gereja Harapan Abepura, Gereja Pengharapan Jayapura, dan Gereja Eden Base G. Mereka menilai Pemerintah hanya mengumbar janji tanpa ada perhatian. Salah satu janji yang disampaikan yaitu akan membangun tempat tinggal yang layak dan mengembangkan kreativitas serta mendidik. Nasib anak-anak ini semakin terpuruk. Perjuangan mempertahankan hidup mereka yakni mencari makan dan bekerja terpaksa harus dilakukan dengan sendiri. Padahal kerinduan mereka berulang kali dikeluhkan kepada Pemerintah. Baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota.  ”Kami butuh perhatian dan tempat tinggal yang layak. “Banyak diantara kami yang tidak tau baca tapi mengerti dan  berusaha untuk cari makan. Kami punya kerinduan untuk baca tapi tidak ada yang didik kami,” ujar Vani.  
Dari data yang diperoleh JUBI, anak penghisap aibon di Jayapura Utara sebanyak 14,6 persen atau 29 kasus, Jayapura Selatan 22 kasus atau 11,1 persen, di Abepura, 10,5 persen atau 21 kasus, sedangkan di daerah Muara Tami dan dan Kota Jayapura 2, 5 persen 5 kasus dan 36,2 persen atau 72 kasus. Hal ini disebabkan karena hampir semua tokoh maupun kios kecil secara leluasa menjual aibon. Sehingga akses untuk mendapatkannya lebih mudah. Kemudahan untuk mendapatkan aibon ini juga dibarengi dengan harga yang terjangkau. Satu kaleng aibon dijual dengan harga Rp. 500.000 per kaleng. 
Sementara itu, Kepala Perawatan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura, Daniel Simunapendi, SKM, MM, mengatakan konsumsi aibon  termasuk dalam golongan Napsa dan Narkoba. Resikonya sangat berbahaya. Penghisap aibon akan mengalami kemunduran intelegensi. Artinya, tidak lagi berpikir secara rasional. Gejala lainnya adalah penurunan fisik secara drastis, termasuk gangguan saraf. Tak hanya itu, ternyata menghisap aibon akan berdampak pada perilaku anak bersangkutan. Anak tersebut akan nakal dan tidak lagi dengar-dengar kepada orang tua.  Dampak-dampak ini membuka peluang bagi anak tersebut mudah terserang berbagai macam penyakit. Seperti penyakit Jantung, Kanker dan Paru-paru. Proses pengobatannya sangat susah. Kondisi anak seperti ini tidak mudah diobati dengan memberikan obat. Dibutuhkan proses rehabilitasi yang didalamnya memberikan berbagai macam kegiatan kepada mereka. Diantaranya, pelatihan dan olahraga. Berbagai kegiatan tersebut dilakukan kepada mereka dengan tujuan agar dapat melupakan aktvitas lamanya yakni mencium Aibon. “Kegiatan-kegiatan ini akan menolong mereka daripada hanya memberikan obat kepada mereka,” tandas Simunapendi. Namun akan memakan waktu yang lama. Proses kegiatan yang dilakukan tersebut harus berjalan disebuah ruangan khusus. 
Obat yang bisa diberikan untuk mengobati pengkonsumsi aibon yaitu obat golongan psikotropika. Walaupun harganya cukup mahal namun masih mudah dijangkau. Tapi pola pemakaian yang khusus, penggunaan obat psikotropika bisa berdampak buruk bagi pasien yang bersangkutan. Para pengguna aibon bisa terlibat dalam dunia itu karena kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari keluarga. 
Simunapendi menambahkan, saat ini tidak ada kerja sama yang baik untuk mengobati anak-anak Aibon ini. Seharusnya ada kerja sama lintas sektoral yang dibangun antara polisi, LSM dan sejumlah elemen lainnya untuk menjaring anak-anak ini. “Saya harap kedepan ada kerja sama yang baik. Karena sekarang terkesan semua pihak jalan sendiri-sendiri tanpa kordinasi,” ungkapnya. (JUBI/Musa Abubar)

Sumber:http://www.tabloidjubi.com/
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Comment

Free West Papua

Free West Papua

Free West Papua

Free West Papua

Referendum For West Papua

Referendum For West Papua

MENGENAI KAMI

Foto saya
West Papua, Papua, Indonesia
We Like Freedom

ARSIP POSTINGAN

PENGIKUT

FREE WEST PAPUA

FREE WEST PAPUA

WEST PAPUA FLAG

WEST PAPUA FLAG

FACEBOOK KMS

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. HITAM BERSUARAH YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger