![]() |
Perempuan Papua, Merasakan rantai kekerasan yang seolah tak pernah putus. (Foto/Jubi:Evert Joumilena) |
Setelah Otsus berlaku, tak sedikit Perempuan Papua mengkampanyekan gerakan anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan kesetaraan jender. Di lain sisi, rantai kekerasan yang dialami Perempuan Papua seolah tak pernah putus.
JUBI-Pengalaman kekerasan yang masih dialami oleh Perempuan Papua hingga saat ini tidak terlepas dari sejarah buram sejak masa kolonial yang begitu lama melanda Tanah Papua.
Berawal dari penjajahan Belanda hingga proses integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kekerasan seperti ini masuk dalam kategori kekerasan struktural (kekerasan yang dilakukan oleh negara). Bukan hanya kejahatan yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia selama diberlakukannya DOM di Papua tetapi juga kekerasan dalam undang-undang yang sangat ‘patriarkhi’ dan tidak memihak pada kepentingan perempuan.
Berawal dari penjajahan Belanda hingga proses integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kekerasan seperti ini masuk dalam kategori kekerasan struktural (kekerasan yang dilakukan oleh negara). Bukan hanya kejahatan yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia selama diberlakukannya DOM di Papua tetapi juga kekerasan dalam undang-undang yang sangat ‘patriarkhi’ dan tidak memihak pada kepentingan perempuan.
Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua yang telah disahkan pada Tanggal 21 November 2001 yang merupakan sebuah kompromi politik yang telah dinegosiasi antara kaum beberapa Intelektual Papua dan Pemerintah NKRI juga belum mampu memberikan perlindungan bagi Perempuan Papua maupun memenuhi rasa keadilan bagi Perempuan Papua yang masih hidup di rantai kekerasan.
Otsus yang awal pembentukannya sebagai upaya penegakkan hak-hak dasar Orang Papua melalui keberpihakan (affirmative action), perlindungan (protection) dan pemberdayaan (empowerment), secara khusus pada Pasal 27 UU Otsus Papua menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memajukan, memberdayakan dan melindungi kaum perempuan agar dapat sejajar dengan kaum laki-laki sehingga ada kesetaraan jender. Akan tetapi hingga kini belum membawa rasa keadilan dan mewujudkan sebuah landasan yuridis formal ‘khas Papua’ dalam bentuk Perdasus.
Perjuangan Perempuan Papua dalam mewujudkan martabat dan hak-hak dasarnya, dihadapkan dengan berbagai tantangan, baik dari dalam diri sendiri maupun lingkungan Masyarakat Adat Papua. Di Papua saat ini cukup rentan kekerasan akibat bias dari kebijakan keamanan, serta kekerasan akibat adat dan budaya yang masih sangat patriarkhi. ”Walaupun sudah banyak peraturan yang keluar untuk melindungi perempuan namun tindak kekerasan masih saja dialami Perempuan Papua, bahkan masih terjadi pada ranah politik dan juga adat yang belum mengakui kemampuan Perempuan Papua untuk duduk bersama dalam mengambil sebuah keputusan,” demikian kata Koordinator Tim Pengdokumentasian Kekerasan Terhadap Perempuan Papua (1963–2009), Fien Yarangga kepada JUBI beberapa waktu lalu.
Dia mencatat, dalam proses pendokumentasian yang dilakukan, ia melihat bermacam perilaku kekerasan yang terjadi dalam kurun waktu 1963–2009. Fien juga mengakui bahwa kekerasan yang dialami Perempuan Papua sudah lama berlangsung dan sudah masuk dalam taraf yang memperihatinkan. Dia juga mengatakan bahwa walaupun perempuan sekarang hidup dalam era Otsus yang notabene hak-hak Perempuan Papua diproteksi tetapi toh kekerasan masih saja terjadi. Pendokumentasian ini diberi judul “Stop Sudah” Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Terhadap Perempuan Papua. Fien mengatakan bahwa kekerasan yang kerap dialami Perempuan Papua adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Hal ini terjadi karena kaum lelaki (suami) masih menggangap diri sebagai ‘raja keci’ yang suka mengatur dan harus dilayani.
Fien Yarangga juga mengatakan, proses penelitian dilakukan itu selama sembilan bulan. Target yang ingin dicapai dalam proses tersebut adalah Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Papua dan Pelanggaran HAM berbasis jender yang dialami selama kurun waktu 1963–2009.
“Analisa ini dilakukan secara kritis diberi perspektif jender dan HAM,” akunya. Data resminya akan dilucurkan nanti,” katanya. Dia berharap, laporan penelitian itu dapat dijadikan data empiris dalam penelitian-penelitian ilmiah lainnya tentang KTP di Papua. Menurut dia, sebelum membuat sebuah regulasi khusus tentang perlindungan Perempuan Papua, pemerintah semestinya mengetahui fakta sejarah dan penyebab kekerasan tersebut. “Ini untuk memudahkan dalam membuat perangkat hukum,” katanya. “Perdasus Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua sangat dibutuhkan agar Perempuan Papua tidak tertindas terus,” katanya.
Dia mengakui bahwa di dalam buku “Stop Sudah” itu, juga memuat beberapa rekomendasi, diantaranya kepada Polri agar dapat menghukum pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan dan memastikan penegakkan hukum, termasuk meminta komitmen politik untuk menjalankan amanat Otonomi Khusus (Otsus) dan melindungi hak-hak dasar Masyarakat Adat Papua.
Dikatakan Yarangga, berbagai temuan lain juga yang menyebabkan terjadi KTP Papua, yakni pendekatan keamanan yang selalu mengedepankan kekerasan tanpa ada sanksi yang serius bagi pelaku Pelanggaran HAM. “MRP perlu menunjukkan keberpihakannya dengan mendorong DPRP dan pemerintah daerah dalam proses legislasi,” pinta Fien lagi.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Pusat, Yuni Yanti Chuazaifah, mengaku bahwa Komnas Perempuan telah menerima laporan dari hasil pendokumentasian kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua Tahun 2009-2010 dan akan menjadi agenda Komnas HAM. Dia juga mengaku, dalam laporan yang diterimanya itu, tak sedikit kasus kekerasan akibat kebijakan keamanan di Papua. “Kalau kekerasan dilakukan oleh tentara maka harus mengurangi dropping pasukan ke Papua. Stigma separatis dan makar juga harus dihilangkan,” katanya.
Selain itu, perlu dibentuk Pengadilan HAM di Papua. Dengan demikian akan ada pengakuan, rekonsiliasi dan rehabilitasi antara aparat militer Rakyat Papua yang menjadi korban Pelanggaran HAM selama Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), menghapus stigma OPM pada masyarakat pegunungan dan menjalankan kegiatan pemulihan dan pemberdayaan korban. Untuk mewujudkan hal tersebut, perempuan juga bisa memperjuangkannya.
Survei tentang KTP dan Anak yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2006 menemukan bahwa Papua menempati ranking pertama di Indonesi yakni mencapai 13.62% Dari angka-angka tersebut penganiayaan adalah bentuk kekerasan paling tinggi yang dialami perempuan Papua dengan prosentasi 70,3%.
Yanti Chuazaifah mengatakan bahwa dengan melihat potensi KTP di Papua, mestinya Perempuan Papua harus berani melawan ketidakadilan ini. Perempuan Papua, kata dia, tak lagi menyembah pada budaya yang secara nyata tidak memberikan dampak positif bahkan cenderung mengkerdilkan jati diri seorang perempuan.
Dia juga mengatakan bahwa walau secara nasional dan dunia, perlindungan hak-hak perempuan diakui namun perlu juga pengakuan secara lokal dalam bentuk Perdasus. Di Papua yang memilki UU Otsus, Perempuan Papua diharapkan mampu memperjuangkan sebuah Perdasus tentang kesetaraan gender pada semua aspek.
Dia juga menekankan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) harus diterapkan secara bijaksana oleh pemerintah daerah. Selain itu juga harus ada komitmen dari aparat penegak hukum terhadap laporan KTP. Berikut adalah beberapa contoh kekerasan yang dialami perempuan yaitu kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga. Termasuk di dalamnya: pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan, mutilasi (pemotongan atau perusakan) alat kelamin perempuan dan kebiasaan-kebiasaan tradisional lain yang merugikan bagi perempuan, kekerasan yang dilakukan bukan oleh pasangan hidup (kekerasan antara pasangan yang tidak menikah) dan kekerasan yang berkaitan dengan eksploitasi. Perjuangan perempuan adalah perjuangan yang paling sulit dan lama. berbeda dengan perjuangan kemerdekaan rasial. Musuh perempuan kadang tidak berbentuk dan bersembunyi dibalik tembok-tembok kamar pribadi. (JUBI/Eveerth Joumilena)
Sumber:http://www.tabloidjubi.com/
Otsus yang awal pembentukannya sebagai upaya penegakkan hak-hak dasar Orang Papua melalui keberpihakan (affirmative action), perlindungan (protection) dan pemberdayaan (empowerment), secara khusus pada Pasal 27 UU Otsus Papua menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memajukan, memberdayakan dan melindungi kaum perempuan agar dapat sejajar dengan kaum laki-laki sehingga ada kesetaraan jender. Akan tetapi hingga kini belum membawa rasa keadilan dan mewujudkan sebuah landasan yuridis formal ‘khas Papua’ dalam bentuk Perdasus.
Perjuangan Perempuan Papua dalam mewujudkan martabat dan hak-hak dasarnya, dihadapkan dengan berbagai tantangan, baik dari dalam diri sendiri maupun lingkungan Masyarakat Adat Papua. Di Papua saat ini cukup rentan kekerasan akibat bias dari kebijakan keamanan, serta kekerasan akibat adat dan budaya yang masih sangat patriarkhi. ”Walaupun sudah banyak peraturan yang keluar untuk melindungi perempuan namun tindak kekerasan masih saja dialami Perempuan Papua, bahkan masih terjadi pada ranah politik dan juga adat yang belum mengakui kemampuan Perempuan Papua untuk duduk bersama dalam mengambil sebuah keputusan,” demikian kata Koordinator Tim Pengdokumentasian Kekerasan Terhadap Perempuan Papua (1963–2009), Fien Yarangga kepada JUBI beberapa waktu lalu.
Dia mencatat, dalam proses pendokumentasian yang dilakukan, ia melihat bermacam perilaku kekerasan yang terjadi dalam kurun waktu 1963–2009. Fien juga mengakui bahwa kekerasan yang dialami Perempuan Papua sudah lama berlangsung dan sudah masuk dalam taraf yang memperihatinkan. Dia juga mengatakan bahwa walaupun perempuan sekarang hidup dalam era Otsus yang notabene hak-hak Perempuan Papua diproteksi tetapi toh kekerasan masih saja terjadi. Pendokumentasian ini diberi judul “Stop Sudah” Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Terhadap Perempuan Papua. Fien mengatakan bahwa kekerasan yang kerap dialami Perempuan Papua adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Hal ini terjadi karena kaum lelaki (suami) masih menggangap diri sebagai ‘raja keci’ yang suka mengatur dan harus dilayani.
Fien Yarangga juga mengatakan, proses penelitian dilakukan itu selama sembilan bulan. Target yang ingin dicapai dalam proses tersebut adalah Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Papua dan Pelanggaran HAM berbasis jender yang dialami selama kurun waktu 1963–2009.
“Analisa ini dilakukan secara kritis diberi perspektif jender dan HAM,” akunya. Data resminya akan dilucurkan nanti,” katanya. Dia berharap, laporan penelitian itu dapat dijadikan data empiris dalam penelitian-penelitian ilmiah lainnya tentang KTP di Papua. Menurut dia, sebelum membuat sebuah regulasi khusus tentang perlindungan Perempuan Papua, pemerintah semestinya mengetahui fakta sejarah dan penyebab kekerasan tersebut. “Ini untuk memudahkan dalam membuat perangkat hukum,” katanya. “Perdasus Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua sangat dibutuhkan agar Perempuan Papua tidak tertindas terus,” katanya.
Dia mengakui bahwa di dalam buku “Stop Sudah” itu, juga memuat beberapa rekomendasi, diantaranya kepada Polri agar dapat menghukum pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan dan memastikan penegakkan hukum, termasuk meminta komitmen politik untuk menjalankan amanat Otonomi Khusus (Otsus) dan melindungi hak-hak dasar Masyarakat Adat Papua.
Dikatakan Yarangga, berbagai temuan lain juga yang menyebabkan terjadi KTP Papua, yakni pendekatan keamanan yang selalu mengedepankan kekerasan tanpa ada sanksi yang serius bagi pelaku Pelanggaran HAM. “MRP perlu menunjukkan keberpihakannya dengan mendorong DPRP dan pemerintah daerah dalam proses legislasi,” pinta Fien lagi.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Pusat, Yuni Yanti Chuazaifah, mengaku bahwa Komnas Perempuan telah menerima laporan dari hasil pendokumentasian kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua Tahun 2009-2010 dan akan menjadi agenda Komnas HAM. Dia juga mengaku, dalam laporan yang diterimanya itu, tak sedikit kasus kekerasan akibat kebijakan keamanan di Papua. “Kalau kekerasan dilakukan oleh tentara maka harus mengurangi dropping pasukan ke Papua. Stigma separatis dan makar juga harus dihilangkan,” katanya.
Selain itu, perlu dibentuk Pengadilan HAM di Papua. Dengan demikian akan ada pengakuan, rekonsiliasi dan rehabilitasi antara aparat militer Rakyat Papua yang menjadi korban Pelanggaran HAM selama Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), menghapus stigma OPM pada masyarakat pegunungan dan menjalankan kegiatan pemulihan dan pemberdayaan korban. Untuk mewujudkan hal tersebut, perempuan juga bisa memperjuangkannya.
Survei tentang KTP dan Anak yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2006 menemukan bahwa Papua menempati ranking pertama di Indonesi yakni mencapai 13.62% Dari angka-angka tersebut penganiayaan adalah bentuk kekerasan paling tinggi yang dialami perempuan Papua dengan prosentasi 70,3%.
Yanti Chuazaifah mengatakan bahwa dengan melihat potensi KTP di Papua, mestinya Perempuan Papua harus berani melawan ketidakadilan ini. Perempuan Papua, kata dia, tak lagi menyembah pada budaya yang secara nyata tidak memberikan dampak positif bahkan cenderung mengkerdilkan jati diri seorang perempuan.
Dia juga mengatakan bahwa walau secara nasional dan dunia, perlindungan hak-hak perempuan diakui namun perlu juga pengakuan secara lokal dalam bentuk Perdasus. Di Papua yang memilki UU Otsus, Perempuan Papua diharapkan mampu memperjuangkan sebuah Perdasus tentang kesetaraan gender pada semua aspek.
Dia juga menekankan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) harus diterapkan secara bijaksana oleh pemerintah daerah. Selain itu juga harus ada komitmen dari aparat penegak hukum terhadap laporan KTP. Berikut adalah beberapa contoh kekerasan yang dialami perempuan yaitu kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga. Termasuk di dalamnya: pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan, mutilasi (pemotongan atau perusakan) alat kelamin perempuan dan kebiasaan-kebiasaan tradisional lain yang merugikan bagi perempuan, kekerasan yang dilakukan bukan oleh pasangan hidup (kekerasan antara pasangan yang tidak menikah) dan kekerasan yang berkaitan dengan eksploitasi. Perjuangan perempuan adalah perjuangan yang paling sulit dan lama. berbeda dengan perjuangan kemerdekaan rasial. Musuh perempuan kadang tidak berbentuk dan bersembunyi dibalik tembok-tembok kamar pribadi. (JUBI/Eveerth Joumilena)
Sumber:http://www.tabloidjubi.com/
0 komentar:
Posting Komentar