Home » » INDONESIA NEGARA GAGAL DALAM KONTEKS PAPUA

INDONESIA NEGARA GAGAL DALAM KONTEKS PAPUA

Written By Komunitas Anak Jalanan on Kamis, 05 September 2013 | 15.30

Sumber:Dok. Pribadi

Indonesia telah mendapatkan predikat Negara Gagal, Indikator negara gagal dari berbagai dimensi semisal HAM, Ekonomi dan perlindungan terhadap warga negaranya, juga kaum minoritas.

Indonesia sebagai Negara yang gagal dalam konteks Papua dapat terlihat dalam sejumlah persoalan penegakan Hukum dan pengingkaran terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia, Kekerasan aparatus negara dan gagalnya pelaksanaan Otonomi Khusus.


Budaya kekerasan dipapua secara struktural terdapat tiga pihak  yang bertanggungjawab, Pertama adalah Pemerintah dan sistem Pemerintahan secara umum. Pemerintah telah menunjukan kegagalan ganda. Gagal dalam member  perlindungan  bagi warga Negara dan gagal dalam melaksanakan konstitusi dan berbagai undang-undang serta  peraturan lainnya yang terkait dengan pencegahan penggunaan tindakan kekerasan oleh aparat Negara.  Pada tingkatan tersebut ada praktek pembiaran atau The Politics of Neglect.

Pemerintah memiliki kebiasaan membiarkan persoalan. Sebuah persoalan tidak tertangani dan tidak terselesaikan secara tuntas. Ini menyumbang banyak praktik tindak kekerasan. Pada tingkat yang lebih tinggi adalah The  Absence of the State yang mengartikan Negara dalam hal ini seolah tidak ada.

Kedua adalah aparat Keamanan, penggunaan  Senjata, interpretasi atas aturan hukum tentang penggunaan alat kekerasan dan pengarahan kekuatan bersenjata; serta kepentingan tertentu dari aparat keamanan TNI Polri.
Kepemilikan senjata, ketidakpastian pemahaman atas peraturan perundang-undangan dan kepentingan-kepentingan tertentu dari aparat keamanan  menghasilkan kecenderungan kekerasan di Papua.

Ketiga, lemahnya organisasi- organisasi  kemasyarakatan termasuk media massa dan organisasi profesi lainnya.Semisal Media massa di Papua, seperti didaerah konflik lainnya Media Massa dokontrol dan dikuasai oleh aparatus Keamanan (Jika tidak kru media terintimidasi)  pada akhirnya media menjastifikasi kekerasan yang ada. Termasuk pelarangan Negara terhadap media massa asing dan NGO  asing untuk berkarya dan menjalankan tugas jurnalistiknya di Papua.

Pelapor Khusus PBB untuk pembunuhan sewenang-wenang, Philip Alston, membuat permohonan berkunjung ke Indonesia pada 2004 dan berikutnya 2008, yang tak pernah sekali pun direspon Negara. Juga sejumlah journalist asing telah dideportasi saat sedang meliput di Papua.

Pemerintah Indonesia juga telah menutup kantor cabang dari lembaga kemanusiaan seperti ICRC dan Peace Brigade International (PBI)  yang berkarya di Jayapura, Papua.

Papua kini menjadi daerah dimana satuan TNI paling banyak bertugas dengan operasi kemiliteran. Pengarahan ribuan personil militer lengkap dengan satuan Komando dan persenjataan  layaknya perang. Didukung dengan jiwa TNI yang melihat warga sipil Papua sebagai musuh yang harus dimusnahkan.

Negara mengendalikan keamanan di Papua dengan sifat temporer sekedar bermain dengan waktu, bermain dengan opini dan emosi publik. Tindakan pemerintah yang bersifat sementara mungkin akan tampak penurunan intensitas kekerasan. Tetapi bilamana perhatian publik mengendor atau beralih ke isu lain maka tindakan kekerasan dari Negara terjadi lagi. Bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi dan korbannya  lebih banyak. Ini menjadi pola yang dapat ditemukan dalamsejarah kebijakan Negara di Papua. 

Soal otonomi husus Pemerintah mengatakan telah memberikan jumlah dana yang besar ke Papua namun demikian itu  bukan sesuatu yang luar biasa karena itu merupakan kewajiban Negara. Selain itu apalah artinya uang yang cukup namun harga barang  sangat mahal. Apalah artinya  memilki  uang tetapi nyawanya terancam dan tidak ada rasa aman.
Tidak adanya jaminan rasa aman oleh Negara membuat nyawa warga sipil terancam di Tanah Papua dapat terlihat dengan ratusan kasus  Aparatus Negara  menembak mati warga sipil berikut ini.

Tim Gabungan Khusus menembak mati Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Musa Tabuni pada 14 Juni 2012 lalu. Para saksi mengatakan Mako sudah dibuntuti tiga unit mobil sebelum ditembak sekitar pukul 09.30 WIT.

Atas penembakan Warga Sipil Mako Tabuni, aparatus kepolisian berdalil bahwa Mako merupakan pelaku rentetan penembakan di Papua. Warga tentu bertanya, mana pembuktian secara hukum atas dalil  kepolisian tersebut?  Semestinya kepolisian bertindak professional sehingga menangkap bukan menembak mati dan menghilangkan cerita selanjutnya dari rentetan penembakan yang meresahkan warga sipil di Papua.

Sebelum penembakan terhadap Mako Tabuni, TNI juga menyerang warga sipil di Wamena, Papua.  Insiden itu berawal dua anggota batalyon di wamena mengendarai Sepeda motor dan  menabrak seorang remaja di hanai lama wamena, akhirnya para keluarga datang dan menganiaya ke dua anggota TNI sampai diantaranya satu tewas. 
Sebagi balas dendam anggota batalyon menembak dan membakar rumah warga di honai lama wamena.

Korban dari masyarakat total sebanyak 12 orang, 3 orang meninggal (1 meninggal di tempat dengan luka tusukan/tikam, 2 orang meninggal di RSUD Wamena) 9 orang dirawat (1 orang luka tembak, 8 orang luka penikaman dengan sanggur milik TNI). Adapun nama-nama ke sembilan (9) orang korban yang berasal dari Kabupaten Nduga, Papua

Okniel Kribeal (anak sekolah SMU Negeri 1 Wamena), ditembak pada punggung belakang tembus dada atas dan dirawat di RSUD Wamena. Pelakuknya aparat TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili.

Yeremia Kogoya, ditikam dengan sangkur pada bahu dan dirawat di RSUD Wamena. Pelakunya aparat TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili.

Dapul Nirigi, ditikam dengan sangkur pada punggung dan dirawat di RSUD Wamena. Pelakuknya aparat TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili.

Epius Kenelak, ditikam dengan sangkur pada punggung dan dirawat di RSUD Wamena. Pelakunya aparat TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili.

Pikenus Wenda, ditikam dengan sangkur pada kepala dan bahu dan dirawat di RSUD Wamena

Lenius Wanda, ditikam dengan sangkur pada bahu dan dirawat di RSUD Wamena. Pelakunya aparat TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili.

Yuri Bugi, ditikam dengan sangkur pada bahu dan dirawat di RSUD Wamena. Pelakunya aparat TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili.

Ince Mitangge (murid SMU YPK), dipukul dengan balok dan ditikam, dan berobat di rumah. Pelakunya aparat TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili.

Ikonus Nerigi (anak SMU YPK), dipukul dengan balok dan ditikam, dan dan berobat di rumah. Pelakunya aparat TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili.

Selain kekerasan Negara diatas juga Assa Alua alias Hengky Alua yang ditangkap bersama Ketua Parlemen Nasional West Papua, Buchtar Tabuni telah disiksa dan dipaksa untuk mengaku menjadi pelaku atas rentetan penembakan di Papua

“Sejak kami ditangkap di depan Saga Mall, aparat langsung memperlakukan kami dengan brutal. Sopir dapat pukul, kami tiga dapat pukul juga. Trus, selama pemeriksaan polisi pukul dan paksa kami mengaku sebagai pelaku pembunuhan yang terjadi selama ini”, tutur Alua sambil menceritakan keadalan selama pemeriksaan.

Menurut Alua, polisi juga tidak ijinkan mereka untuk hubungi Pengajara untuk pembelaan hukum. “mereka perlakukan kami seperti teroris, kami minta untuk hubungi pengacara tapi tidak diijinkan, lalu kami dipukul”, katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai kondisi aksi kekerasan di Papua masih dalam kategori skala kecil dalam pembukaan Rapat Terbatas bidang Politik, Hukum dan Keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, senin 11 Juni 2012 lalu. Namun, fakta di lapangan kondisi keamanan di Papua  malah semakin parah.

Tanggapan pemerintah pusat atas kekerasan yang meningkat di Papua mengecewakan. Terlihat tidak ada niat baik dari Yudhoyono untuk menyelesaikan Papua dengan hati sesuai dengan janji manisnya. Sby melakukan pembungkaman krisis kemanusiaan yang terjadi di Papua

Pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut bertolak belakang dengan kondisi Pelanggaran HAM di Papua dan terkesan menutupi serta membungkam kronisnya Pelanggaran dan impunitas yang dilindungi negara. Lihat saja sebagai gambaran terjadi Pembantaian di Bolakme, Wamena Rabu 1  Desember 2011 lalu. Insiden ini  terjadi saat  aparat TNI dari Satgas Batalion 755 Merauke mengajak anggota Polisi untuk melakukan patroli bersama-sama dalam rangka pengamanan 1 Desember 2011.

Saat aparat keamanan dengan senjata lengkap tiba di lokasi yang dicurigai oleh aparat akan terjadi pengibaran bintang Kejora,  warga sedang melakukan Doa bersama. Walaupun warga sipil hanya sedang doa, aparat keamanan tak segan-segan melakukan tembakan terhadap dua warga sipil  bernama Atili Wenda (35) terkena luka tembak dibahu kiri dan juga aparat menembak Melus Tabuni (46) di bahu kiri tembus di belakang.

Berikut penembakan  Miron Wetipo. dia ditembak mati aparat keaman di Perbukitan Tanah Hitam, Kampkey, Jayapura pada 3 Desember 2011.

Selanjutnya, Yawan Wayeni di tembak Polri pada Sabtu,11 Juli 2009. Yawan setelah ditembak dan dirobek perutnya hingga terbujur tali perutnya disuruh jalan kaki menuju kerumah sakit untuk melakukan perawatan insentif terpaksa meninggal di Jalan.

Kemudian  aparatus negara menembak mati  Opinus Tabuni (45) pada acara peringatan Hari Pribumi Sedunia di Wamena 9 Agustus 2009 lalu.

Aparatus Negara juga menembak Gideon Warfandu (19 di Kompleks Yasuka Genyem, Kabupaten Jayapura, Jum’at, 12 Januari 2000.

Kemudian penembakan terhadap Otri Tabuni (24) tewas dianiaya oleh anggota Brimob Jayapura, pada Jum’at 18 Januari 2001, pada Minggu, 21 Januari 2001.

Rony Wambrauw, karyawan PT. Multi Wahana Wijaya di Sausapor ditembak Bripka MR dengan menggunakan senapan moser dan mengenai dada kiri, pada Kamis, 23 Februari 2001.

Robert Ongge (30), tewas ditembak, pada Senin 26 Februari 2001 pukul 13.30 di Jayapura dalam Toko Asahan Jaya oleh polisi.

Selanjutnya aparatus Negara menembak 7 warga sipil, pada Selasa 1 Mei 2001 di Manokwari. Korban adalah Dolfinus Nunaki (24) di kaki kanan, Henock Ullo (26) di dada kiri, Moses Toansiba (30) di tangan kiri, Yunus Ahoren di punggung kanan, Agus Homer, Amos Towansiba,Daniel Homer (31) di kaki kanan.

Selanjutnya Matheus Tabalessy (26) kena tembak di paha oleh Brigda PH, anggota Polres Sorong pada Jum’at, 4 Mei 2001 di Kampung Baru Sorong.

Aparatus Negara yang berinisial (DBS) menembak Alberti Maliyoyi (45) dengan senjata mosser, pada Sabtu, 5 Mei 2001 di Desa Onggaya Kabupaten Merauke.

Mina Namantar (28) dan anaknya Natalia (8) kena tembak peluru nyasar Brimob Jayapura, pada Rabu, 13 Juni 2001. Mina kena tembak tembus di kedua paha.

Yusuf Runggaimusi, warga Dok VIII Base G Jayapura, tewas tertembak di leher oleh Briptu DU, anggota Polsek Jayapura Utara pada Rabu 4 Juli 2001.

Yulian Nauw, Dansatgas Papua, kena tembak di perut dan Ruben Ibaa, kena tembak di leher. Keduanya ditembak di halaman Mapolsek Bintuni, Kabupaten Manokwari, pada Selasa 28 Agustus 2001.

Willem Onde dan saudaranya John Tumin Kandam yang sedang dalam perjalanan dari Getentiri ke KM 59 dengan mengendarai sepeda motor dianiaya dan ditembak mati lalu dibuang ke Kali Maro Merauke oleh Satgas Tribuana Kopassus, pada 10 September 2001.

Theys Hiyo Eluay (63), Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) diculik dan dibunuh dalam perjalanan pulang dari Markas Kopassus di Hamadi Jayapura usai mengikuti Hari Pahlawan Nasional RI 10 November, pada Sabtu, 10 November 2001 pukul 22.00 Waktu Papua oleh tujuh anggota Satgas Tribuana IX Kopassus.

Aristoteles Masoka (22), Sopir pribadi Ketua PDP, Theys Hiyo Eluay, hilang. Nasibnya hingga kini belum diketahui. Korban bersama majikannya (Theys) diculik dalam perjalanan pulang dari Markas Kopassus di Hamadai, pada Sabtu, 10 November 2001.

Siprianus Wanakat Wambray (30) dikeroyok hingga tewas oleh 3 orang anggota TNI dari Yonif Linud 733 Masariku Pattimura (Sertu. M. N. Saimima, Kopda. Syafi’i dan Pratu. Umanalelo) yang bertugas di Kecamatan Mandobo – Tanah Merah Kabupaten Merauke, pada Rabu, 10 Juli 2002.

Berdasarkan informasi yang dimiliki Komnas HAM pada 16 November 2011 lalu delapan orang tewas tersebut yaitu Matias Tenouye (30 tahun), Simon Adii (35 tahun), Petrus Gobai (40 tahun), Yoel Ogetai (30 tahun), Benyamin Gobai (25 tahun), Marius Madai (35 tahun), Matias Anoka (40 tahun) dan Yus Pigome (50 tahun).

Komnas HAM pun menyebut aksi ini sebagai pelanggaran HAM berat dan harus dipertanggungjawabkan. Ifdhal menambahkan hingga saat ini pihaknya masih terus mencari konfirmasi terhadap informasi tersebut. Pihaknya, melalui Komnas HAM Papua, juga akan melakukan identifikasi terhadap para korban di lapangan.

Penyiksaan dua warga sipil di Puncak Jaya atas nama Anggun Pugukiwo dan Telenggen Gire oleh anggota TNI 753 di Distrik Tingginambut pada 27 Mei 2010 silam. Dalam siding pembacaan Vonis 24 Januari 2011, tiga anggota TNI yang melakukan penyiksaan dijatuhi hukuman ringan.

Penyiksaan hingga tewas terhadap Pendeta Kideman Gire, warga sipil di Puncak Jaya oleh TNI Batalyon 753/ Arvita Nabire, Papua. Lagi-lagi diberi hukuman ringan. Terhadap tiga pelaku.

Penyiksaan hingga tewas Derek Adii pada tanggal 14 Mei 2011 oleh Enam anggota TNI di pelabuhan laut Nabire, Papua.

Penembakan hingga tewas warga sipil di areal Freeport atas nama Petrus Ayamiseba dan Leo Wandegauserta sepuluh karyawan mengalami luka-luka  pada Oktober 2011 diduga oleh aparat kepolisian.

Penembakan warga sipil bernama Moses Douw siswa SMP Negeri Waghete, Kabupaten Deiyai, Papua pada Februari 2006 silam oleh Tim Khusus.

Selain itu, pada 15 Mei 2012, lima warga sipil yakni Melianus Kegepe, Selvius Kegepe, Amos Kegepe, Lukas Kegepe, dan Yulianus Wagape, ditembak di Kampung Degowo.

Theorelli Karoba (26) mahasiswa Port Numbay, Jayapura, ditembak aparat setelah menggelar aksi untuk memperingati terjadinya aneksasi Papua Barat 1 Mei 1963,. Dalam kasus penembakan di Papua, kepolisian dianggap tak pernah mengumumkan siapa pelaku sebenarnya.

Yesaya Mirin  (21 tahun) adalah Mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura tertembak peluruh aparatus Negara di Kampung Harapan, Sentani, Jayapura, Papua pada 4 Mei 2012. , korban tewas tertembak. Yesa meninggal pukul 11.00 WIT di lokasi kejadian, kampung Harapan.

Jenazahnya kemudian dibawa oleh pihak keamanan bersama korban luka-luka ke rumah sakit Yowari.Yesa meninggal akibat penembakan dan penganiayaan aparat keamanan yang menghadang dan membubarkan masa aksi.

Lindiron Tabuni tewas tertembak di Puncak Jaya, Papua pada tanggal 6 Januari 2012 oleh TNI Batalyon 753 Nabire.

Selanjutnya tanggal 9 Januari 2012  di Mil 51, Areal kerja PT Freeport Indonesia Nasyun Naboth Simopiaref ditembak mati sementara Thomas Bagiarsa mengalami luka berat akibat terkenah peluruh dan meninggal di rumah sakit.

Selanjutnya tanggal 22 Januari 2012 di Mulia, Puncak Jaya, Papua Krisna Rofik tertembak.

Selanjutnya warga sipil di Wamena,  bernama Okto Bawika (24) ditembak mati oleh Anggota Polisi Resort Jayawijaya, Papua  pada tanggal 8 Februari 2012.

Selanjutnya anggota Polisi Kabupaten Supiori, Papua  menembak Baldus Imbab di kampong Mnimber, Distrik Supiori Timur.

Selanjutnya tanggal 8 April 2012 Lairon Kogoya, Wartawan Papua Pos ditembak mati di Bandar Udara, Mulia Puncak Jaya, Papua.

Penembakan mati juga terjadi di lokasi Pendulangan Emas Degeuwo, Paniai, Papua terhadap warga sipil yang bernama Melianus Kegepe yang dilakukan oleh anggota Brimob Papua. Sementara dua warga sipil bernama Lukas Kegepe dan Amos mengalami luka tembak. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 15 Mei 2012.

Penembakan hingga tewas juga dialami oleh warga sipil bernama Yeri Wakum (37) seorang Satpam Rumah Sakit Umum Daerah Raja Ampat, Papua Barat yang dilakukan oleh Brigadir Edy Buang Kurnia, Anggota Reserse Polres Raja Ampat pada tanggal 19 April 2012.

Selanjutnya di Waena, Jayapura, Papua seworang warga sipil ditemukan tewas dalam Mobil  pada tanggal 23 Mei 2012. Korban beserta Mobil ditemukan warga hangus terbakar.

Selanjutnya Anton Arung Tambila, seorang warga Sipil diKampung Kulirik, Mulia, Puncak Jaya, Papua tertembak dan mati dirumah Sakit Mulia.

Penembakan juga terjadi pada tanggal 29 Mei 2012 di Pantai Base- G, Jayapura Papua terhadap warga sipil bernama Dietmar Pieper (55). Korban dievakuasi ke Singapura untuk melakukan pengobatan.

Selanjutnya tanggal 4 Juni warga sipil bernama Gilbert Febrian Madika ditembak dan menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah Dok II, Jayapura, Papua.

Pada tanggal yang sama 4 Juni 2012 di Kampung Harapan, Sentani, Jayapura Papua warga sipil bernama  Yesa Mirin ditembak Tim gabungan Polda dan Brimob Papua serta dua warga sipil lainnya mengalami luka-luka atas nama Tenius Kalakmabin dan Imanuel Taplo.

Selanjutnya tanggal 5 juni 2012di Kota Jayapura Iqbal Rivai ditembak  di jalan Sam ratulangi, depan Kantor Dinas Perhubungan Papua.

Selanjutnya warga sipil bernama Teyu Tabuni (20) ditembak mati aparat kepolisian Polda Papua pada tanggal 7 Juni 2012.

Selanjutnya di Timika, Polisi menembak mati dua warga sipil yang bernama Andilius Ongomang (45) dan Dony Ongomang pada Senin 18 Juni 2012.

Selanjutnya warga sipil ditembak mati di Kwamki Lama, Timika, Papua atas nama Yulita Wanmang oleh Polisi, Timika, Papua pada tanggal 19 Juni 2012.

Jika rujuk pada kondisi penembakan warga sipil yang tak kunjung mengenal kata usai serta impunitas yang terjaga baik dan didukung Negara maka tepatlah hasil penelitian Yale University di Amerika dan hasil investigasi Sydney university di Australia serta pernyataan dari anggota Kongres Amerika Asal Samoa, Rev. Eni Valeomavaega pada dengar pendapat kasus Papua di Konggres Amerika bahwa di Papua terjadi Slow Motion Genosida.

Menyikapi serangkaian aksi kekerasan dan teror penembakan yang terus terjadi di Tanah Papua, Forum Kerja Gereja Papua mendesak adanya intervensi lembaga kemanusiaan internasional  untuk menyelamatkan rakyat Papua.

Hal senada tentang situasi Papua yang kian membara datang dari Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin menilai reaksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menanggapi situasi di Papua dengan mengeluarkan instruksi kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk melakukan operasi pemulihan keamanan sebagai tindakan yang tidak komprehensif. Instruksi itu dikeluarkan pada Selasa 12 juni 2012 . 

“Seperti kita ketahui masalah di Papua sesungguhnya bukan hanya masalah keamanan yang akhir-akhir ini eskalasinya bertambah. Tapi ada masalah yang lebih besar yang harus diselesaikan melalui upaya-upaya komprehensif dan terpadu,” ujar Tubagus, Rabu (13/6). 

Catatan Kontras Jakarta tentang penembakan di Papua sejak  Januari sampai 11 Juni 2012, telah terjadi 17 peristiwa penembakan yang mengakibatkan setidaknya 7 warga sipil, satu jurnalis meninggal dan 10 orang mengalami luka kritis, termasuk warga negara asing Jerman Dietman Pieper  20 Mei 2012.

Sementara catatan The Indonesia Human Right Monitor (Imparsial) sejak Januari 2012 hingga Juni terdapat 24 kasus kekerasan bersenjata di tanah Papua.

Melihat kondisi Papua zona darurat, intervensi lembaga-lembaga Internasional seperti PBB harus segera datang, karena pemerintah dan aparat TNI/Polri tak mampu menyelesaikan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua,"ujar Pendeta Benny Giay Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Rabu 13 juni 2012.

Sementara itu sebagai solidaritas terhadap kondisi Papua datang dari Green Party dengan  mendesak Pemerintah Selandia Baru untuk memutuskan hubungan militer dan polisi dengan Indonesia setelah mengemuka kekerasan oleh tentara Indonesia di  Papua.

Selandia Baru beberapa waktu lalu pernah membantu dana yang tak sedikit untuk Polda Papua untuk program peningkatan kapasitas agar Anggota Polda Papua menjadi professional, Namun kenyataan dilapangan bertolak belakang dengan harapan Selandia Baru. Sementara Pemerintah Australia membiayai penuh densus 88 anti teror yang belakangan diduga terlibat dalam penembakan sejumlah warga di Papua.

Solidaritas terhadap degradasi nilai kemanusiaan di Papua yang semakin kronik juga datang dari lembaga Hak Asasi Manusia yang berbasis di New York, Amerika. Pemerintah Indonesia harus mengizinkan akses media dan kelompok masyarakat sipil internasional ke Papua guna melaporkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedikitnya telah menewaskan 14 orang sejak Mei 2012 lalu, demikian Human Rights Watch.

Human Rights Watch mendesak Indonesia menerima seruan dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuka akses dan mengundang pelapor HAM PBB ke provinsi ini.

“Dengan tetap membiarkan Papua tertutup, pemerintah Indonesia memelihara kebiasaan kebal-hukum di antara aparat keamanan dan kemarahan di antara warga Papua,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia pada Human Rights Watch. “Perlu mengizinkan media dan masyarakat sipil membuka informasi atas kondisi daerah ini.”

“Presiden Yudhoyono harus berhenti bikin alasan atas kegagalan pemerintahannya menyelidiki kekerasan,” kata Pearson. “Mengizinkan akses penuh dan terbuka ke provinsi ini bagi pelapor HAM PBB, pers, dan pengawas lain dapat mengatasi rumor dan misinformasi yang sering meletupkan pelanggaran.”

Selama Universal Periodic Review(Tinjauan Periodik Universal) atas Indonesia di Dewan HAM PBB, 23 Mei, negara Perancis minta Indonesia memberi akses bebas kepada masyarakat sipil dan jurnalis ke Papua dan Papua Barat.

Pemerintah Britania Raya mencatat “peningkatan kekerasan” di Papua dan “mendukung Indonesia untuk mengatasi kekerasan terhadap keyakinan minoritas serta menerima permohonon kunjungan Pelapor Khusus.” Negara Austria, Chile, Maldives, dan Korea Selatan mendesak Indonesia agar menerima permintaan pelapor HAM PBB dan badan-badan prosedur khusus PBB. Meksiko secara khusus minta pemerintah Indonesia mengundanng pelapor khusus PBB ke Papua.


“Beberapa negara menyatakan keprihatinan di Dewan HAM PBB tentang kegagalan Indonesia mengundang pelapor PBB ke negara itu,” kata Pearson. “Bila ingin dianggap serius di Geneva, pemerintah Indonesia seharusnya tidak terus-menerus mengabaikan permohonan ini.”

Melihat impunitas serta penembakan terus terjadi di Papua maka tak salah jika Indonesia dinyatakan negara Gagal dan menduduki posisi 63 dari 177 Negara didunia.

Sudah saatnya Presiden SBY tidak membungkam krisis kemanusiaan yang terus terjadi di Papua serta menyikapi persoalan Papua dengan mengirim Pasukan Kemanan dalam jumlah yang banyak tetapi mestinya membuka hati nurani agar menyetujui penyelesaian kasus Papua dengan tiga tahap.

Pertama, segera menangkap pelaku serta mengungkap motif  rentetan penembakan warga (baik masyarakat sipil maupun aparat bersenjata Negara) di Papua. Termasuk menghukum pelaku aparatus Negara dalam persidangan sipil. (Tidak melindungi impunitas)

Kedua menarik seluruh aparatus militer yang bukannya memberi rasa aman melainkan membuat warga sipil merasa ketakutan dan tidak aman dari Papua. Agar rasa saling percaya antara Papua dan Jakarta bisa pulih kembali.

Ketiga, menyetujui pelaksanaan dialog antara orang Papua dan Indonesia karena bagi orang di Papua telah menunjuk enam juru runding yang akan mewakili orang Papua. Pemilihan juru runding yang akan mewakili orang Papua telah disepakati dalam konfrensi Perdamaian yang diselengarakan oleh Jaringan Damai Papua di Universitas Cenderawasih Jayapura Papua.

 Oleh:John Pakage, Pemimpin Redaksi www.cerminpapua.com
===================================================

Sumber: Facebook, Jhon Pakage

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Comment

Free West Papua

Free West Papua

Free West Papua

Free West Papua

Referendum For West Papua

Referendum For West Papua

MENGENAI KAMI

Foto saya
West Papua, Papua, Indonesia
We Like Freedom

ARSIP POSTINGAN

PENGIKUT

FREE WEST PAPUA

FREE WEST PAPUA

WEST PAPUA FLAG

WEST PAPUA FLAG

FACEBOOK KMS

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. HITAM BERSUARAH YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger