Home » » Biarkan "Anak Perdamaian" Tetap Damai

Biarkan "Anak Perdamaian" Tetap Damai

Written By Komunitas Anak Jalanan on Kamis, 05 September 2013 | 15.03

Sumber:ILUSTRASI

Ungkapan Anak Perdamaian pada judul di atas diambil dari judul buku yang ditulis Don Richardson. Buku berketebalan 292 halaman tersebut, diterbitkan Yayasan Kalam Hidup Bandung, yang sudah memasuki cetakan ke-6 pada Juli 1997. Anak Perdamaian diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris Peace Child yang diterbitkan 1974 oleh G/L Publications.

Don Richardson diutus Regions Beyond Missionary Union (suatu persekutuan misi internasional di Philadelphia) ke Papua pada tahun 1962. Dia bersama keluarga tinggal di tengah-tengah suku Sawi, salah satu dari lima suku besar yang mendiami Kecamatan Pantai Kasuari, Kabupaten Merauke, Papua. Empat suku lainnya, Kayagar, Asmat, Awyu, dan Athoem.

Dalam laporan perjalanan jurnalistik ke Pantai Kasuari, September dan Oktober 1996, wartawan harian ini menyebutkan, sama halnya suku-suku lainnya di Papua, kelima suku tersebut sering terlibat perang (suku).
Dampak perang suku di kecamatan berpenduduk 20.000 lebih itu masih terasa sekarang ini. Sejarah masa lalu mereka, mengakibatkan sulit mengharapkan suatu kerja sama antarsuku. Sebagai warisan tradisi perang suku, sampai sekarang kaum pria cenderung tetap menempatkan diri sebagai "pasukan keamanan" suku atau "polisi" desa yang tidak boleh bekerja karena ada kekhawatiran, dengan bekerja kaum pria akan kehilangan enerji yang dibutuhkan untuk berperang.

Tradisi itu menempatkan perempuan pada garis terdepan untuk mencari nafkah. Pada umumnya, perempuanlah yang masuk hutan meramu, mencari kayu api, mencari ikan di sungai atau di laut, dan menyediakan makanan untuk keluarga. Kecuali perempuan, anak-anak juga sering dibawa ke hutan menokok sagu sehingga waktu sekolah mereka terhambat.

Tentu, dilihat dari segi pengembangan masyarakat, kebiasaan kaum pria memelihara enerji jangan sampai terbuang harus diubah. Demikian halnya dengan kebiasaan pria menempatkan diri selaku "pasukan keamanan" suku atau "polisi" desa bukan zamannya lagi, terutama karena "perdamaian" antarsuku semakin menjadi kenyataan sekalipun harus disadari bahwa menghilangkan trauma masa lalu membutuhkan waktu yang lama.


Perdamaian
Walau suku-suku di Pantai Kasuari sering terlibat perang, tidaklah berarti bahwa mereka berperang sampai habis. Mereka mengenal upaya-upaya damai. Salah satu di antaranya adalah tarop tim (anak perdamaian), yakni penyerahan salah seorang anak dari satu suku kepada suku lainnya yang berseteru. Pada pihak lain, suku lainnya (seteru) itu membalas dengan menyerahkan seorang anak.

Ritual tarop tim menjadi terkenal setelah Don Richardson mengangkat hal itu sebagai judul buku yang sangat menjual: Anak Perdamaian (Peace Child). Ritual tersebut ditulis Don Richardson dengan pelaku utama Kaiyo dari Kampung Kamur, Mahor dan Mahaen dari Haenam. Penduduk kedua kampung ini sering berperang dengan melibatkan tidak hanya laki-laki dewasa, tetapi juga anak-anak. Untuk mencapai perdamaian, Kaiyo menyerahkan anak tunggalnya Baikodon kepada orang Haenam sekalipun Wumi, ibu Baikodon meronta-ronta.

Seperti ditulis Don Richardson, dari pihak Haenam, Mahor yang ditunjuk berhadapan dengan Kaiyo. Dalam suasana yang menegangkan itu, Kaiyo bertanya: "Mahor, maukah kamu membela kepentingan Kamur di antara sukumu?"

"Ya!" jawab Mahor, "Saya akan membela kepentingan Kamur di antara suku saya."

"Kalau begitu saya berikan anak saya ini berikut nama saya," kata Kaiyo seraya menyerahkan anak tunggalnya Baikodon.

Sebaliknya, pihak penduduk Haenam diwakili Mahaen berdiri di depan Kaiyo sambil mengangkat tinggi-tinggi seorang bayinya bernama Mani. "Kaiyo!" tanya Mahaen, "maukah kamu membela kepentingan Haenam di antara sukumu?" lalu dijawab Kaiyo: "Ya!" seraya mengulurkan tangannya kepada Mahaen.

"Kalau begitu, saya berikan anak saya ini kepadamu berikut nama saya."

Dalam tradisi tarop tim selain penyerahan anak, juga nama ayah dari anak perdamaian itu diserahkan untuk dipakai oleh ayah yang baru. (Bandingkan ritual ini dengan upaya damai antar-kerajaan atau pemerintahan melalui perkawinan).

Seusai ritual yang menegangkan itu, masyarakat di kedua kampung melakukan pesta tanda sukacita atas terealisasinya perdamaian antara Haenam dan Kamur.

Desa lain di Papua juga mengenal upaya-upaya damai secara adat. Ketika rombongan Gubernur Irian Jaya (kini Papua) Barnabas Suebu tiba di Ilaga medio September 1992 dalam perjalanan ke desa-desa, masyarakat setempat kecewa karena gubernur ternyata tidak hadir di antara rombongan. Barnabas Suebu ketika timnya tiba di Wamena terpaksa meninggalkan rombongan karena mendadak dipanggil Menteri Dalam Negeri (waktu itu) Rudini. Karena itu masyarakat Ilaga kecewa lalu mengancam "menyandera" anggota rombongan sampai Barnabas Suebu datang ke Ilaga.

Setelah dilakukan musyawarah antara tim gubernur dengan tokoh masyarakat, akhirnya dicapai penyelesaian "secara adat." Begitu juga dalam berbagai konflik antar-suku di Papua, biasanya penyelesaian secara adat lebih mengena dibanding penyelesaian dengan jalan kekuasaan.


Motivasi dan Inovasi
Berdasarkan pengalaman dan kenyataan di lapangan, masyarakat Papua cukup menghargai perdamaian. Mereka pun mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi sekalipun risikonya harus menyerahkan anak kepada pihak lawan. Tujuannya, demi perdamaian.

Dengan modal itu, tentu kita dapat membangun masyarakat Papua tanpa mengedepankan pendekatan keamanan apalagi politik adu domba. Biarkan "Anak Perdamaian" tetap damai dengan modal dan kekayaan budaya yang mereka miliki. Penerapan politik adu domba maupun pendekatan keamanan, merupakan kemunduran dari apa yang masyarakat Papua bangun dari bawah. Kini, yang mereka butuhkan adalah motivasi, inovasi, dan (tentu) pendampingan. Hanya dengan motivasi, inovasi, dan pendampingan masyarakat Papua bisa membangun dirinya sendiri.

Banyak pengalaman menunjukkan kegagalan pembangunan di pulau yang oleh Barnabas Suebu disebut "Raksasa Sedang Tidur" itu karena pendekatan dari atas. Di masa Orde Baru, misalnya, banyak rumah model Bugis atau Jawa dengan atap seng dibangun Departemen Sosial di Papua tidak dipakai karena rumah tersebut asing bagi mereka, dan tidak cocok di daerah pedalaman yang pada umumnya dingin. Mereka lebih suka honai (rumah asli di pedalaman Papua) yang dibangun misionaris dengan memperhatikan ventilasi dan lubang asap. Rumah itu sama dengan rumah yang mereka kenal, hanya dilengkapi ventilasi dan cerobong asap sehingga lebih sehat dibanding honai mereka semula. Cara pembuatannya juga tidak sulit, terutama bahan bakunya tersedia di setiap desa.

Pembangunan sekolah di banyak desa juga sering mubazir karena masyarakat tidak dimotivasi terlebih dulu tentang pentingnya menyekolahkan anak. Tentu, kita tidak ingin mengulang kegagalan serupa. Karena kegagalan berarti juga kerugian, sekalipun ada yang mengatakan, kegagalan adalah sukses yang tertunda.
                                                                                                                                                                               Oleh :
Markus Rani
===============================================
Sumber:Facebook Cermin Papua

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Comment

Free West Papua

Free West Papua

Free West Papua

Free West Papua

Referendum For West Papua

Referendum For West Papua

MENGENAI KAMI

Foto saya
West Papua, Papua, Indonesia
We Like Freedom

ARSIP POSTINGAN

PENGIKUT

FREE WEST PAPUA

FREE WEST PAPUA

WEST PAPUA FLAG

WEST PAPUA FLAG

FACEBOOK KMS

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. HITAM BERSUARAH YANG TERLUPAKAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger